alam Islam, memakai jilbab adalah suatu keharusan bagi seorang wanita
dengan maksud untuk menutupi aurat. Sedangkan dalam Kristen dan
Katolik, pakaian semacam jilbab selalu digunakan oleh para Biarawati dan
para Suster.
Bunda Theresa (Agnes Gonxha), salah satu tokoh panutan umat Kristen dan
Katolik selalu memakai jilbab dalam hidupnya. Jilbab dengan nuansa putih
dan sentuhan garis biru sang Bunda telah menjadi bagian dari keramahan
dan kepeduliannya terhadap sesama.
Rabbi Rachel, salah satu Rabbi yang sangat dihormati oleh umat Yahudi juga selalu menggunakan penutup kepala dan longdress dalam kesehariannya, terutama pada saat memimpin prosesi keagamaan.
Bahkan Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva), yang dikenal
sebagai Buddha dengan 20 ajaran welas asih, juga digambarkan memakai
pakaian suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna
putih menutup kepala.
Hal yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakaian khas yang dipakai sehari-hari.
Demikian juga pakaian orang-orang Eropa dan Amerika sejak abad
pertengahan. Pakaian panjang yang anggun dengan penutup kepala yang khas
itu tidak hanya dipakai oleh kerabat kerajaan dan kaum borjuis,
namun juga dipakai oleh rakyat kebanyakan. Bahkan style fashion era ini
telah menginspirasi para perancang busana saat ini untuk dipakai pada
acara-acara agung seperti pernikahan.
Begitu juga dalam tradisi masyarakat Jepang dan tradisi-tradisi sebagian
besar kelompok masyarakat di bumi yang telah memiliki peradaban.
Faktanya sejak dahulu sampai saat ini jilbab tidak hanya menjadi bagian
dari dinamika peradaban, namun telah menjadi simbol kebaikan dan
ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua
agama menggunakan dan menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung,
meski tidak semua menetapkannya sebagai kewajiban. Fakta ini memberikan
pelajaran bagi kita bahwa jilbab tidak selayaknya dianggap sebagai
problem, apalagi dipersepsikan menjadi bagian dari kekerasan. Perdebatan
apapun mengenai jilbab hanyalah pepesan kosong tanpa makna.
Dari perspektif tradisi (culture) bersama inilah seharusnya jilbab tidak
menjadi penghalang kebersamaan, namun seyogyanya dapat menjadi
pemersatu dalam keragaman agama dan budaya. Jilbab semestinya dimaknai
sebagai keagungan berbudaya dan bukan sebaliknya. Bagaimanapun jilbab
terbukti merupakan identitas dan milik semua agama, sehingga naif jika
hanya dikaitkan dengan salah satu agama dan diidentikkan dengan
keterbelakangan budaya (eksklusifisme). Akhirya, karena jilbab adalah
keniscayaan, bagian dari keagungan budaya, dan diterima oleh semua
agama, terlepas kita memakainya atau tidak,mestinya kita bisa menerima keberadaannya kan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar